Pages

Monday, April 18, 2011

Sejarah Mu’tazilah

BAB II
PEMBAHASAN


A.Sejarah Mu’tazilah
            Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah dan sebab timbulnya berkaitan dengan peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha dengan temannya Amr bin Ubaid dan Hasan Albashri di Bashrah. Washil selalu mengikuti pelajaran yang diberikan Hasan Albashri di masjid Bashrah. Pada waktu itu, datang seorang bertanya kepada Hasan Albashri mengenai pendapatnya orang yang berdosa besar. Dalam pembahasan terdahulu telah dikemukakan, bahwa kaum Khowarij memandang orang yang demikian sebagai orang kafir, sementara Murji’ah memandangnya sebagai orang mukmin. Ketika Hasan Albashri masih bepikir, Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiridengan mengatakan: ”Saya berpendapat bahwa orang yang berdosa besarbukanlah mukmin dan bukanlah kafir, tetapi mengambil posisi di antara keduanya; tidak mukmin dan tidak kafir”. Kemudian dia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan Albashri, pergi ke tempat lain di masjid. Di sana dia mengulangi pendapatnya kembali.
Atas peristiwa ini Hasan Albashri mengatakan: ‘’Wasil menjauhkan diri sari kita (i’tazala ‘anna)’’. Dengan demikian dia dan teman-temannya disebut kaum Mu’tazilah. Mereka selanjutnya diberi nama pula sebagai kaum Aladl wa Attauhid dan dijuluki pula sebagai kaum Qadariyah dan Adaliyah. Namun Qadariyah tersebut dikonotasikan sebagai kaum kafir. Sejalan dengan ungkapan Nabi Muhammad saw: ”Alqadariyah majusu hadzihi alummah”, Qadariyah itu adalah Majusinya(kafirnya) umat Islam ini.

C. Doktrin Mu’tazilah
1. Al-Tauhid
a)         Menolak paham Anthropomorhisme.
       Antropomorhisme diketahui menggambarkan Tuhan dekat dengan makluknya,dan dalam hubungan ini mu’tazilah menolak paham beatific vision,yaitu bahwa tuhan dapat dilihat manusia secara langsung di akhirat,karena sesuatu yang dapat dilihat dengan tidak bersifat fisik.

b)      Tidak ada yang Qodim selain Allah
Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat tuhan yang betul-betul tidak ada pada makhluknya ialah sifat qodim.Oleh karerna itu tidak ada yang lain selain Allah yang bias bersifat qadim.Hanya zat Tuhan yang boleh qadim.

c)      Meniadakan sifat-sifat
            Mu’tazilah mengambil sikap untuk meniadakan sifat-sifat tuhan,yaitu sifat-sifat yang mempunyai wujut sendiri diluar zat tuhan .Ini tidak berarti bahwa tuhan tidak diberi sifa-sifat oleh kaum mu’tazilah.Maha mendengar ,maha melihat dan sebagainya,tetapi ini semua tidak dapat dipisahkan dari zat tuhan.Dengan cara demikian keqadiman tuhan sebagaimana disebutkan di atas tidak terganggu .Demikian penjelasan Ahmad Mahmud Shubhi dalam bukunya ilmu kalam.

d)     Al-qur’an sebagai Makhluk
            Mu’tazilah memiliki paham bahwa al-qur’an adalah makhluk,diciptakan tuhan dan bersifat baru .Paham ini selanjunya menimbulkan perdebatan yang panjang dan sampai menimbulkan fitnah yang membawa perpecahan bagi umat islam.

2. Al-Adl
            Dengan Aladl mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk .Hanya tuhan lah yang berbuat adil,tuhan tidak bisa berbuat zalim ,karena perbuatan zalim itu hanya mungkin dilakukan oleh makhluknya.

a)      Meniadakan sifat-sifat Buruk pada Tuhan
     Sebagaimana dikemukan oleh Abdul al-jabbar,kalau tuhan bersifat adil maka hal itu berarti bahwa semua perbuatan tuhan bersifat baik,tuhan tidak berbuat buruk dan tidak melupakan kewajiban yang harus dikerjakannya.Selanjutnya berarti tuhan member daya kepada manusia untuk dapat memikul beban yang diletakkan tuhan pada manusia.tuhan menerangkan beban-beban itu dan memberi upah atau hukuman atas perbuatan-perbuatan manusia tersebut .

b)      Kasih Sayang Tuhan(al-luthf al-ilahy)
            Yang dimaksut al-luthf adalahsemua hal yang akan membawa manusia dari ma’siat.Dengan demikian tuhan berkewajiban mengirim rasul dan nabi untuk membawa petunjuk bagi manusia.Oleh karena itu soal keadilan tuhan mempertimbangkan tuhan dalam pandangan mu’tazilah tidak berbuat buruk,bahkan menurut salah satu golongan tidak bias(la yaqdir)berbuat buruk(zalim),karena perbuatan demikian timbul dari orang-orang yang bersifat tidak sempurna,sedangkan tuhan bersifat maha sempurna.

c)      Berbuat yang Terbaik
              Selain pandangan diatas mereka mengatakan wajib bagi tuhan untuk mendatangkan yang baik,bahkan yang terbaik untuk manusia.

d)     Perbuatan Manusia
               Soal keadilan tuhan menimbulkan persoalan tentang perbuatan manusia.Apakah perbuatan manusia diwujudkan oleh tuhan atau diwujudkan oleh manusia itu sendiri?Di atas telah disebutkan bahwa paham jabariyah sebagaimana  telah dikemukakan  tidak sesuai dengan paham keadilan tuhan,karena menurut paham ini manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kemauan dan perbuatan.Segala perbuatannya telah ditentukan tuhan sejak azali.dengan demikian kalau orang melakukan hal buruk ,itu bukan atas kemauannya melainkan karena terpaksa.tidaklah dapat tuhan disebu adil,sekiranya ia menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.tetapi atas paksaan dari luar dirinya.Oleh karena itu Mu’tazilah mengambil paham Qodariyah,karena paham itulah sesuai dengan paham keadilan tuhan.

3.Al-Wa’ad dan al-wa’id
            Ajaran yang ketiga adalah janji dan ancaman yang dalam bahasa arabnyadi sebut al-Wa’ad al-Wa’id . paham ini sebagai kelanjutan paham yang kedua sebagaimana disebutkan di atas. Menurut kaum Mu’tazilah Tuhan tidak bias di sebut adil apabila dakmenberi pahala kepada Orang yang berbuat baik dan juga tidak member hukuman bagi Orang yang berbuat jahat. Keadilan menhendaki supaya Orang yang bersalah di beri hukuman dan Orang yang berbuat baik di beri upah sebagaumana dijanjikan Tuhan kepada Manusia, hendaknya disesuaikan dengan kesanggupan berarti bertentangan dengan Keadilan.

4.Al-manzilah bain Al-Manzilatain
            Ajaran dasar yang keempat adalah al-manzilah bain al-manzilatain, yaiu posisi menengah bagi Orang yang berbuat dosa besar, paham ini erat dengan paham keadilan sebagaimana telah disebutkan di atas, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW. Tetapi bukanlah mukmin, karenanya ia tidak dapat masuk surge, dank arena ia bukan kafir, maka semestinya ai tidak pantas masuk surge dan masuk neraka, inilah sebenarnya keadilan. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat selain surge dan neraka, maka pembuat dosa besar harus di masukkan ke dalam salah satu tempat ini. Inilah menurut Mu’tazilah, posisi menengah antara mu’min dan kafir, dan itulah pula makna keadilan.

5.Perintah Berbuat Baik dan Larangan Berbuat Jahat
            Ajaran dasar kelima adalah perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat,dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja tetapi oleh golongan umat muslim lainnya.Perbedaan oleh semua golongan tersebut adalah pelaksanaannya.Apakah perintah danlarangan cukup dijalankan dengan penjelasan dan seruan saja ataukah perlu diwujudkan dengan paksaan dan kekerasan?kaum khawarij ,memandang perlu adanya kekerasan.Mu’tazilah berpendapat kalau dalam keadaan biasa cukup dengan penjelasan/seruan,tetapi kalau perlu dengan kekerasan.Sejarah membuktikan bahwa mereka pernah memakai kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka.Keadaan inilah yang selanjutnya mengapa kaum Mu’tazilah kurang mendapat simpatik dari masyarakat pada umumnya.

D. Persoalan Lain
1. Persoalan Akal dan Wahyu
    a. Fungsi Akal
       Masalah akal ini dihubungkan dengan empat hal, yaitu: mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dan polemik yang terjadi antara Mu’tazilah dan aliran-aliran teologi ialah: “ Yang manakah di antara keempat masalah itu yang dapat diperoleh melalui akal dan manakah yang melalui wahyu?”. Mu’tazilah berpedoman pada ayat yang artinya:
Maka terangkanlah padaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamilah yang menciptakannya. Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan. Maka terangkanlah padaku apa yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkannya. Maka terangkanlah padaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan atau Kami yang menurunkannya. Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan(dari gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami yang menjadikannya. (Q. S. Alwaqi’ah 56-59).
Dari ayat-ayat tersebut, kita memeroleh kesan yang kuat. Bahwa Alquran mementingkan tentang pentingnya penggunaan akal pikiran untuk memikirkan berbagai ciptaan Tuhan seperti: air, tumbuh-tumbuhan, api, manusia dan seterusnya. Hasil pemikiran akal dapat muncul dalam berbagai teori yang berkembang pada ilmu pengetahuan.
       Kedudukan akal dapat pula dilihat dari penghargaan Tuhan pendapat dan upaya-upaya yang dilakukan manusia dengan cara memberikan pahala kepada keduanya. Dalam agama juga dikenal adanya hukum akal, qiyas, ijtihad, dan sebagainya yang secara keseluruhan merupakan produk akal pikiran.
Dalam hal ini, Abu Hudzail(tokoh Mu’tazilah) mengatakan bahwa sebelum turunnya wahyu, orang telah berkewaiban mengetahui Tuhan dan jika dia tidak berterima kasih kepada Tuhan, orang demikian akan mendapatkan hukuman. Menurut pandangannya, baik dan jahat juga dapat diketahui dengan perantara akal. Dengan demikian orang wajib mengerjakan yang baik.
    b. Fungsi Wahyu
Wahyu bagi mereka berfungsi sebagai konfirmasi dan informasi yaitu untuk memprkuat apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa yang tidak diketahui akal serta menyempurnakan pengetahuan yang telah diperoleh akal. Kata Assyahrastani, fungsi wahyu ialah mengingatkan manusia akan kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan. Akal tahu akan kewajiban terhadap Tuhandan wahyu datang untuk mengingtkan pada kewajidan itu. Dan akal dapat mengetahui Tuhan tetapi melalui jalan panjang, kemudian wahyu memperpendek jalan yang panjang itu.
Kata Alkhayyat, fungsinya ialah untuk menguji manusia, dalam arti mengetahui siapa yang patuh kepada Tuhan dan yang tidak. Tuhan telah menunjukkan jalan ke Surga dan ke Neraka. Terserah manusia memilih jalan yang mana.

2. Persoalan kebebasan dan takdir                                                                                                      
       Dalam sisem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar dan bebas. Sudah barang tentu mereka menganut paham Qodariyah atau freewill. Tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung  paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatannya.
       Aljubba’i menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatannya, manusia berbua baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Dasar mereka terdapat di surat: Al-sajadah,(23)-7:”yang membuat segala yang dijadikannya baik”. Al-sajadah(32)-17:”sebagai upah atas apa yang mereka perbuat.”Al-kahf,(18)-29”siapa yang mau ,percayalah ia,dan siapa yang tidak mau,janganlah ia percaya










































      












No comments:

Post a Comment

Bagaimana Isi dalam blog saya menurut anda